YOGYAKARTA  - Sosiolog Arie Sudjito menyarankan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono  dan Gubernur DIY Sri Sultan Hamengkubuwono X mencari titik temu, bukan  menciptakan kontroversi terkait status monarki provinsi tersebut. 
Menurut  Arie, negosiasi tentang wacana keistimewaan DIY seharusnya dilakukan  dengan cara elegan, tidak gaduh sehingga memancing reaksi publik  berlebihan.
“Keduanya (SBY-Sultan) harus menjaga diri, mengurangi tensi ‘bertarung’ dan mencari titik temu,” ujar Arie, kemarin.
 Arie menekankan pentingnya pembahasan substansi keistimewaan. Seperti  apa manfaat yang akan diperoleh rakyat daripada hanya ribut  mempersoalkan mekanisme suksesi gubernur. “Saat ini baik Presiden maupun  Sultan harus bisa menunjukkan sikap kebangsaan dan kenegarawanan. Di  sinilah perlu kearifan dan kebijaksanaan,” imbuhnya.
Pada  rapat kabinet dalam rapat kabinet terbatas, Presiden SBY mengingatkan  tidak boleh ada suatu sistem monarki yang bisa bertabrakan dengan  demokrasi.
Pernyataan  ini dibalas Sultan bahwa Provinsi DIY bukan pemerintahan monarki  sebagaimana diungkapkan Presiden. Menurut Sultan, Provinsi DIY ini sama  dengan sistem organisasi manajemen provinsi lain.
Sementara  itu, Koordinator Kawula Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat Sigit Sugito  mengatakan ada tiga aspek yang kurang dipahami Presiden SBY saat  menyebutkan DIY itu monarki. Sigit mempertanyakan sikap SBY yang bersikukuh dengan pemilihan gubernur dan wakil gubernur yang dianggap demokratis.
 “Pertanyaannya adalah, jika mayoritas rakyat DIY itu aspirasinya  menginginkan penetapan tapi pemerintah pusat menginginkan pemilihan,  apakah itu disebut demokratis? Justru itu malah tidak demokratis,”  gugatnya. 
Menurut  dia, Presiden juga salah jika menyebutkan Sultan itu sebagai simbol  monarki yang dianggap tidak sejalan dengan demokrasi. “Justru dalam  kehidupan sehari-hari Sri Sultan sangat demokratis, sangat menghargai  pluralisme dan keberagaman,” ungkapnya.
Paguyuban pamong desa  se-DIY, baik yang tergabung dalam Paguyuban Dukuh Semar Sembogo maupun  Paguyuban Kepala Desa Ismoyo menilai Presiden SBY tidak memahami kultur  dan keinginan warga DIY. Hal itu terutama tampak pada pernyataan  Presiden soal penolakan terhadap sistem pemerintahan monarki. Ketua  Paguyuban Kepala Dukuh Se-DIY Semar Sembogo, Sukiman, menegaskan bahwa  letak keistimewaan DIY justru berada pada proses penetapan, bukan  pemilihan. Artinya, tidak benar jika DIY menganut sistem monarki dan  bertentangan dengan UUD 45. 
“Jika  nantinya gubernur DIY dengan pemilihan, seluruh kepala dukuh di DIY  menyatakan sikap tidak akan menjadi panitia pemilihan,” ancamnya. 
Menanggapi  polemik ini, Staf Khusus Presiden Bidang Pembangunan Daerah dan Otonomi  Daerah Velix Vernando Wanggai membantah Presiden SBY tidak memahami  kultur tatanan masyarakat, sosial budaya, sosiologis, dan konteks  politik yang berkembang di Yogyakarta.
Menurut  dia, Presiden SBY sangat memahami sistem kesultanan Yogyakarta. “RUU  Keistimewaan DIY tidak akan mengurangi keistimewaan Yogyakarta, bahkan  akan semakin menguatkan unsur istimewa yang dimiliki Yogyakarta. RUU  Keistimewaan justru akan semakin memperkuat pengaturan posisi keraton. Keraton akan lebih strategis dalam konteks kelembagaan pemerintahan dan pembangunan daerah,” ujar Velix Wanggai.
Presiden  SBY memahami posisi kultural dan warisan tradisi, dan selanjutnya  diakomodasi dalam konteks sistem hukum dan demokrasi saat ini. Karena  itu, pernyataan Presiden SBY perlu dimaknai sebagai upaya pengakuan dan  penghormatan warisan tradisi, kekhususan, dan kebudayaan keraton dalam  konteks demokrasi.
Velix menambahkan, sejak awal posisi  pemerintah diletakkan dalam tiga visi besar, yaitu mengakui dan  menghormati sejarah keistimewaan DIY, pilar NKRI yang diamanatkan dalam  UUD 1945, dan Indonesia adalah negara hukum dan demokrasi. Keistimewaan  Yogyakarta ini tidak hanya dimaknai secara sempit pada rekrutmen kepala  daerah saja, tapi filosofi utamanya negara mengakomodasi prinsip  keistimewaan Yogyakarta ke dalam sisi kewenangan yang luas dan  kewenangan khusus, kelembagaan pemerintahan daerah yang menghargai  warisan tradisi, keuangan daerah, kebudayaan, pertanahan dan penataan  ruang, serta kehidupan demokrasi lokal.
 
“Prinsipnya  yaitu bagaimana mewujudkan format dan konstruksi kelembagaan daerah  yang arif guna menggabungkan warisan tradisi keraton dengan sistem  demokrasi yang telah berkembang,” jelas alumnus UGM itu.

No comments:
Post a Comment